DUMAIPOSNEWS.COM, PURNAMA– Masyarakat nelayan menilai Pemeritah tidak konsistensi terkait penetapan harga produk es batu (Es bakok) yang di kelola UPT Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), sejumlah masyarakat nelayan mengakui terbebani dari lonjakan harga itu. Mereka harus mengikuti iklim penerapan kondisi harga, mereka sebelumnya membeli harga es batu dengan harga yang kerap berubah – ubah beberapa bulan terakhir, dimana sebelumnya harga 16 ribu kian meningkat menjadi 22 ribu, 25 ribu hingga mencapai 27 ribu rupiah.
Harga es balok yang dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah (DKP) Kota Dumai naik dari 16 ribu menjadi 25ribu rupiah, kenaikan itu berlaku sejak pertengahan April 2018 lalu. Berdasarkan perwako nomor 58 yang diterbitkan tanggal 11 Desember 2017 yang ditangani Walikota Dumai. Demikian disampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Dumai Affifuddin.
Dikalangan nelayan, kenaikan itu menjadi risalah tersendiri, bagi para masyarakat nelayan bekerja menangkap ikan dilaut. Pabrik Es batu merupakan kebutuhan pokok bagi nelayan, es batu wajib dibawa saat menangkap ikan agar tangkap tetap segar dan tidak busuk.
Guna memastikan kondisi itu, Ahad (20/5) Dumaipos menelusuri Pelabuhan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Purnama, Kecamatan Dumai Barat yang merupakan tempat central lelang perikanan di Kota Dumai dan terdapat pabrik es dibawah Dinas Perikanan.
Salah seorang masyarakat nelayan Wira (32), diwawancarai mengaku harga es batu dari UPT TPI paling tinggi melonjak seharga 27 ribu rupiah dari 22 ribu rupiah, “Harga satu es batu dulu 16 ribu, naik menjadi 22ribu, naik lagi 25ribu, kata mereka pertengahan bulan akan kembali menjadi 22ribu, tapi kami masih membeli dengan harga 25ribu,” ujarnya saat berbincang bersama Dumaipos diambang sore kemarin.
Dijelaskan, untuk satu perahu nelayan membutuhkan 10-13 es batu cetak yang digunakan selama lima hari. “Sekali melaut bisa mencapai 5-7 hari, sekali berangkat kita harus cari modal sebesar dua juta, pernah diwaktu tangkap sedikit, model kita tidak balik,” kata nelayan sondong ini. ia menceritakan sisi perekonomian pendapatan nelayan terkadang tidak tentu, disaat kondisi baik mendapat sedikit keuntungan, sebaliknya jika kurang beruntung hasil tangkapan tidak bisa mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan sebelum menangkap ikan berhari-hari.
Baginya, harga es batu Dumai berbeda dengan es batu yang dikelola pihak swasta di Rohil, di Rohil mereka menjual harga es batu senilai 22 ribu dengan harga tetap, tidak terjadi naik turun.
Ia berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan menetapkan harga es batu yang tidak terlalu melonjak tinggi.” Kalau harga 22ribu boleh lah, dan jangan naik lagi kalau naik lagi kacau kami, bagaimana nelayan mau sejahtera, katanya pemerintah mau mensejahterakan nelayan,” kata Wira sembari memperbaiki mesin boatnya.
Ia mengira pemerintah bisa mendengarkan aspirasinya sebagai masyarakat nelayan yang kerap berada di atas air laut itu.
Ketika ditanyakan tentang bantu nelayan ia katakan sejak usainya 16 tahun menjadi nelayan hingga kini 32tahun belum pernah menerima bantu apa pun dari pemerintah. “Sudah 16 tahun jadi nelayan, belum ada menerima bantuan,” kata warga Purnama itu.
Sementara, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Affifuddin dikonfirmasi membenarkan adanya kenaikan yang berlaku sejak 16 April 2018 lalu, sesuai Perwako nomor 58 yang diterbitkan tanggal 11 Desember 2017 yang ditangani Walikota Dumai. Dari awal Januari hingga April 2018 DKP melakukan sosialisasi terkait kenaikan harga kepada para nelayan.
“Januari sampai dengan April 2018 kita melakukan sosialisasi terkait kenaikan harga, karena harga es kita sebelumnya seharga 15 perbalok, kita menilai harga itu terlalu murahan jika dibandingkan dengan daerah lain seperti Rupat, Bengkalis, Seneboi, ditambah dengan biaya seperti listrik dan operasional tidak memungkinkan dengan harga yang lama senilai 16 ribu itu, dengan melakukan perhitungan dan studi yang cukup lama kita tentukan harga es batu sebesar 25 perbalok,”sebut Kadis DKP.
Kembali dijelaskan.” Kita ditahun 2016 kita berutang sebesar 50 juta, 2017 kita membayar utang sebesar 50 juta, 2018 kita kembali membayar sisa hutang listrik hampir 800 juta.”paparnya. Ia juga menyampaikan harga yang telah dikaji menjadi 25 ribu sudah sesuai dengan hitungan dari pendapat PAD nantinya.
Kenaikan itu sebelumnya kata Affifuddin telah dibahas di DPRD, ia mengklaim pihak nelayan tidak terlalu mempermasalahkan kenaikan harga Es sebesar 25 ribu, namun adanya pihak pengelola es balok yang meminta biaya tambah (angkut ke kapal) sebesar 2 ribu hingga menjadi 27 ribu sempat menjadi pembahasan. “Saya langsung menegaskan bahwa tidak ada yang dapat menaikkan harga es menjadi 27 ribu dengan tambahan biaya angkut, kita tetap 25 ribu itu sudah sekaligus upah angkut, karena si UPT sudah saya tegaskan tidak diperbolehkan ada pungutan tambahan biaya angkut.” tegas Affifuddin. Ia juga mengakui keberadaan agen ikan yang meraup keuntungan sebesar 10% dari para nelayan tidak memberikan kontribusi terhadap PAD maupun pihak pengelola, justru dinilai terlalu memberatkan bagi para nelayan.
Terpisah menjawab bantuan serta aspirasi para nelayan, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Dumai Hendrawan SE MM mengakui kurangnya perhatian Pemeritah terhadap para nelayan sungguh disayangkan. “Kita mempertanyakan ke pemerintah PAD dumai banyak dari sisi laut, dana bagian hasil (DBH) juga banyak dari sisi laut.” Faktanya anggaran alokasi dana pembinaan untuk para nelayan itu sendiri kecil, ini perlu dipertanyakan,” tegasnya.
Setakat ini, HNSI Dumai mencatat juga masih banyak nelayan tidak terhimpun dalam wadah KUB atau Koperasi nelayan. Ia mengimbau kepada nelayan tradisional bergabung ke dalam KUB maupun koperasi nelayan. “Kita juga meminta agar keluhan nelayan ini tertulis ke HNSI baik melalui ketua kelompoknya atau pun pribadi. Nantinya HNSI Dumai siap memediasi kepada DKP Dumai.” pungkas Hendrawan. (aga)