Dumaiposnews.com ,JAKARTA – Di tengah situasi keamanan yang tak kondusif karena aksi terorisme, ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika juga berkepanjangan. Bahkan, masyarakat kembali dikagetkan dengan naiknya jumlah utang Indonesia.
Padahal, Presiden Jokowi dalam kampanye politiknya ogah ngutang, apalagi dalam jumlah yang sekarang sangat sebesar. Naiknya jumlah utang, jelas dikeluhkan warganet. Ada yang mengecam, mengkritik hingga mencibir jika rezim saat ini tidak mampu memimpin.
Adanya kenaikan utang Indonesia diungkapkan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (17/5).
Menurutnya, jumlah utang pemerintah per April 2018 mencapai Rp 4.180,61 triliun, Artinya, posisi stok utang atau utang pemerintah mencapai Rp 4.180 triliun atau 29% dari PDB.
“Berdasarkan data APBN Kita, total utang pemerintah per April 2018 l Rp 4.180,61 triliun lebih tinggi 13,99% dibandingkan periode yang sama di 2017 sebesar Rp 3.667,41 triliun,” bebernya.
Diapun menjelaskan jika utang sebesar Rp 4.180,61 triliun ini berasal dari pinjaman sebesar Rp 773,47 triliun atau 17,50% dari total. Adapun pinjaman tersebut berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 773,91 triliun yang terdiri dari bilateral Rp 331,24 triliun, multilateral Rp 397,82 triliun, komersial Rp 43,66 triliun, suppliers Rp 1,19 triliun. Sedangkan yang berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 5,78 triliun.
Selanjutnya, utang pemerintah yang berasal dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3.407,14 triliun. Di mana yang berdenominasi rupiah sebesar Rp 2.427,76 triliun. Denominasi valas sebesar Rp 979,38 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan angka utang tersebut sebagian besar memiliki tenor atau jangka waktu menengah panjang.
“Utang ini juga sudah memenuhi aturan hedging atau lindung nilai. Jadi risiko nilai tukarnya sudah minim karena sudah dihedging,” kata Dody dalam konferensi pers, di Gedung BI, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, ada beberapa korporasi yang menarik utang itu memiliki hubungan dengan induk perusahaannya di luar negeri untuk membayar korporasi untuk kewajiban ULN valasnya. Jumlah utang luar negeri Indonesia tercatat US$ 358,7 miliar.
Komposisinya terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 184,7 miliar atau sekitar Rp 2.585 triliun. Kemudian untuk utang swasta tercatat US$ 174 miliar atau sebesar Rp 2.436 triliun.
Hingga akhir kuartal I 2018, ULN pemerintah tercatat sebesar US$ 181,1 miliar yang terdiri dari SBN (SUN dan SBSN/Sukuk Negara) yang dimiliki oleh non-residen sebesar US$ 124,8 miliar dan pinjaman kreditur asing sebesar US$ 56,3 miliar.
ULN Pemerintah pada akhir triwulan I 2018 meningkat US$ 3,8 miliar dari kuartal sebelumnya. Peningkatan tersebut terutama bersumber dari penerbitan Global Sukuk sebesar US$ 3 miliar, yang di dalamnya termasuk dalam bentuk Green Bond atau Green Sukuk Framework senilai US$ 1,25 miliar sejalan dengan komitmen pendanaan hijau yang ramah lingkungan.
Sementara di sisi SBN, investor asing masih mencatat net buy SBN pada kuartal I 2018. Perkembangan ini tidak terlepas dari kepercayaan investor asing atas SBN domestik yang masih tinggi antara lain ditopang peningkatan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Rating and Investment (R&I) pada tanggal 7 Maret 2018. (rmol/jpnn)