Satu Keluarga Tinggal Dikandang Ayam, ” Tahu Diri, Tak Ingin Membebani Orang Tua dan Orang Lain …” 

Catatan: Suparmin, Rohil

DUMAIPOSNEWS.COM – SEBUAH gubug kecil beratap nipah dan berdinding nipah. Terlihat potongan batang pinang yang dibelah selain dijadikan sebagai pagar juga sekaligus menjadi dinding bagian depan bagian bawah,  sedangkan kain panjang warna merah membentang sebagai dinding penutup bagian atas.

Kongkowkuy

Sepintas tak ada yang menduga jika gubug kecil yang sebenarnya adalah merupakan kandang ayam itu berdiri tepat dibelakang rumah papan reot itu adalah menjadi tempat tinggal satu keluarga.

Inilah bukti bahwa kemiskinan membuat orang tinggal dimana saja untuk bisa bersama keluarga, seperti keluarga Syamsudin (47) warga jalan Sultan Syarif Qasim RT 002 RW 003 Dusun Inti Raya I Kepenghuluan Bagan Nibung kecamatan Simpang Kanan, harus tinggal di gubuk layaknya kandang ayam supaya tidak tidur di jalanan.

Bersama sang istri bernama Supasmi (30), dia tidur di dalam sebuah gubuk bambu layaknya kandang ayam yang ukurannya cuma 4X2 meter di atas tanah milik mertuanya.

Bersama mereka juga turut ketiga orang anak. Si sulung Amirasari (11), adiknya Yelsi Darmawati (7) yang bungsu, Soni Salman Aditya 1,6 tahun.

Sayangnya,  saat Dumai Pos datang berkunjung ke ‘istana’ itu hanya disambut ramah oleh Supasmi dan ketiga anaknya. Sementara Syamsudin sedang diajak tetangganya untuk membantu bekerja di kebun.

Syamsudin dikenal sebagai pria yang sehari-hari mencari rezeki dengan kerja serabutan ini harus berjuang keras untuk keluarganya, untuk bisa membawa makanan atau uang buat menghidupi istri dan tiga anaknya supaya bisa makan.

“Sehari-hari suami saya bekerja apa saja, menunggu diajak oleh orang dengan penghasilan tidak menentu,” kata Supasmi beberapa hari lalu saat ditemui di tempat tinggalnya.

Wajah ibu tiga anak ini yang semula cerah perlahan mulai berubah menjadi sedih. Dengan mata yang berkaca-kaca dan suara terbata, Supasmi mulai membuka cerita awal mula keluarganya memilih tinggal di kandang ayam itu.

” Dulu kami tinggal di base camp perkebunan kelapa sawit milik orang. Namun, sejak suami saya kecelakaan yang menyebabkan kakinya remuk dan hanya bisa berobat dengan kemampuan anggaran Rp 1 juta itu sehingga membuatnya tidak bisa lagi bekerja keras lagi sehingga kami memilih keluar dari perkebunan itu dan tinggal bersama dengan orang tua saya, ” kata Supasmi mengawali cerita.

Dan karena dirumah orang tuanya itu juga tinggal ketiga abang dan kakaknya,  sehingga setiap siang Syamsudin beserta istrinya memilih untuk santai dan tidur siang di gubug kandang belakang rumah orang tuanya itu.

” Itu sekitar tahun 2014 lalu dan saya masih punya anak dua. Hingga saat itu saya bilang kepada suami saya,  lebih baik masak sendiri saja dan tidak mungkin untuk menyusahkan orang tua lagi serta mungkin karena dirasa lebih nyaman di gubug itu, maka anak saya yang besar Amirasari meminta untuk tetap berada disini (gubug kandang ayam,Red),” tutur Supasmi lagi.

Bukannya pasrah dengan keadaan, Supasmi juga menyebutkan bahwa pada tahun 2017 dirinya juga pernah merantau ke Kandis untuk mengadu nasib.

” Tapi hanya mampu bertahan satu tahun saja,  sebab kasihan suami saya dengan kondisi kaki yang tidak sehat dia harus kerja keras jadi tukang langsir sawit. Jadi kalau malam dia susah tidur karena kakinya selalu mendenyut. Sehingga pada awal 2018 kami putuskan untuk kembali kesini lagi, ” ungkapnya sambil menyeka air mata.

Dan untuk menghidupi keluarga, katanya lagi suami dan dirinya juga tetap bekerja semampunya. ” Kalau dulu saya bisa bantu-bantu cari tambahan dengan mencari lidi sawit, sedangkan dia (Syamsudin, Red) bekerja apa saja yang penting halal, ” katanya.

Supasmi juga menuturkan, jika terlalu capek suaminya tidak bisa tidur. ” Ya kalau tidak bisa tidur dia sslalu menghabiskan waktunya dengan membuat parang dan pisau sesuai dengan pesanan orang walau dengan peralatan seadanya. Dan, setiap pesanan itu suami saya tidak pernah mematok dengan harga tertentu, cukup berapa pantasnya saja, kalau dirasa uangnya lebih akan dikembalikan lagi, ” tuturnya.

Kendati hidup dibawah garis kemiskinan dan harus menetap digubug kandang ayam, namun tidak membuat anak sulung pasangan Syamsudindan Supasmi,  yakni Amirasari untuk malu.

” Ya walau kami susah,  tapi kami tidak mau anak kami ikut susah dan harus tetap sekolah. Dan Alhamdulillah sekarang sudah kelas V SD, sedang adiknya (Yesi Darmawati juga sudah kelas I. Ya memang kadang-kadang ada juga yang membuly, tapi itu mungkin sudah risiko kami, ” ujarnya kembali.

Ironisnya, selama hidupnya pasangan Syamsudin dan Supasmi mengaku hanya sekali mendapatkan bantuan dari pemerintah, tepatnya saat awal pandemi covid-19.

” Tidak pernah dapat, kecuali sekali sembako yang pertama ada corona itu. Memang sudah sering kami didata, tapi sampai saat ini nama kami tetap tidak keluar, ” ungkap Supasmi lagi.

Sementara itu anak sulungnya,  Amirasari adalah sosok anak yang pemalu juga mengaku tetap semangat untuk belajar demi membahagiakan kedua orang tua dan adik-adiknya.

” Pingin sekolah di pesantren, tapi saya juga tidak mau pisah sama orang tua dan adik-adik, ” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Sunardi SPdi dan Koordinator SumbeR Simpang Kanan Ilham Septi Sumantri, SE yang mendapat informasi dari anggota Tim SumbeR Fudin Rangkuti, ada warga yang sangat kurang mampu dan sudah sekian tahun tinggal di kandang ayam milik warga.

“Tidak menunggu waktu lama begitu mendapat informasi bersama teman SumbeR langsung mengunjungi memastikan kebenaran kabar tersebut dan faktanya betul-betul membuat hati kita tersayat kondisinya sangat memprihatinkan,”tuturnya.

Sunardi SpdI selaku Ketua SumbeR Kecamatan Simpang Kanan setelah meninjau langsung kediaman Pasutri tersebut langsung mengambil sikap akan membantu dan memperjuangkan agar pasangan pasutri tersebut dapat memiliki tempat tinggal yang layak.

“Informasi yang kita dapat Syamsudin merupakan sosok seorang yang sangat rajin bekerja, mulai dari buruh panen sawit, buruh pencari pakan ternak sampai menjadi pengerajin ukir kayu seperti sarung dan pengangan golok dan pisau. Bekerja Serabutan yang beliau lakukan setiap harinya hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari kisah Bapak. Syamsudin kita banyak belajar, kesabaran menerima nasib meski hidup susah masih bisa bersyukur anak masih bisa sekolah dan masih memiliki tempat berteduh,”terangnya.

Dilanjutkan nanti kita akan koordinasi dengan tokoh masyarakat Simpang Kanan dan Koordinator SumbeR Kabupaten Rokan Hilir Suherman MKS bagaimana langkah guna dapat membantu meringankan beban pasangan Pasutri ini.

“Ini adalah tangung jawab kita bersama dan atas nama Tim SumbeR Simpang Kanan akan membantu agar bapak Syamsudin mendapatkan rumah yang layak dan anak-anaknya mendapatkan tempat tinggal,”tuturnya.

Koordinator tim SumbeR Rohil Suherman MKs juga merupakan penggerak jaminan sosial Indonesia saat dikonfirmasi kepada awak media menegaskan bahwa,Tim Sumber Akan mengagendakan Rumah Layak Huni ke 15 untuk Kaum Dhuafa yang dimotori oleh Tim SumbeR Simpang Kanan. Dan SumbeR Siap bersinergi dengan semua lapisan masyarakat.

“Baik pemerintahan, tokoh agama tokoh masyarakat dan semua elemen yg peduli dengan nasib” orang” yg tidak mampu seperti pak Syamsuddin ini.tim sumber simpang Kanan sedang menyiapkan langkah kongkrit agar segera kita kita laksanakan, masa tega lihat saudara kita tinggal di kandang ayam,” tegasnya.

Dirinya juga memohon kepada semua lapisan masyarakat untuk Sinergi dan terkhusus  kepada pemerintahan serta seluruh Masyarakat simpang kanan akan kita bangunkan Rumah Layak Huni untuk bapak Syamsudin dan saat ini proses hibah tanah sudah di ajukan ke Pemerintahan Kepenghuluan Bagan Nibung tinggal menungu waktu saja

“Segera kita agendakan segera rumah ke 15 untuk kaum dhuafa ini,Kita bisa karena kita bersatu, Sesuai dengan Motto tim sumber Ketika semua bersinergi maka akan mudah kerja mulai ini.”tutup Herman.